Agama Kasih Sayang

Faisal Djabbar , Seorang Pembelajar

Saya punya seorang kawan imajiner. Namanya Muhamad. Nama itu, konon, diberikan orangtuanya supaya dia punya perilaku layaknya Nabi Muhammad. Apakah harapan orangtuanya terpenuhi, hanya Muhamad yang tahu. Tapi, yang pasti, katanya, dia bilang dia sedang berproses: untuk menjadi Muhamad; untuk menjadi manusia.

 

Muhamad beragama Islam. “Agama Islam kultural”, begitu katanya berseloroh. Dia mengatakan, dirinya beragama Islam karena orangtuanya juga beragama Islam. Tetapi, meski secara formal Muhamad beragama Islam, dia tidak mau terkungkung dalam atap ajaran agamanya semata. Dia ingin lebih dari itu. Dia berhasrat menyelami hakikat ajaran agama lain: Katolik, Kristen, Budha, Hindu, dan lainnya.

 

Bagi rekan saya Muhamad ini, agama haruslah berkutat dalam persoalan-persoalan spiritualitas dan nilai-nilai kemanusiaan, bukan sekadar berfokus total pada ritualisme. Menurut Muhamad, agama yang melulu berkonsentrasi pada ritualisme hanya akan membuat penganutnya jatuh pada dogmatisme. Dogmatisme membikin pemeluk agama enggan melihat kebenaran di luar agamanya. Akibatnya, sikap ini berpotensi menimbulkan pertikaian mengatasnamakan kebenaran agamanya masing-masing. Walaupun memang belum tentu dogmatisme akan otomatis mengakibatkan pertikaian antarumat beragama, tapi minimal bisa terbangun dinding kokoh nan tinggi yang membatasi pertukaran kebajikan antarajaran agama.

 

Muhamad bertanya: apakah sesungguhnya yang diharapkan seorang pemeluk agama dari ritual-ritual agama yang dia kerjakan? Surga? Harta?

 

Bagi saya, pertanyaan Muhamad di atas akan sulit dijawab apabila kita belum memiliki orientasi yang tepat mengenai mengapa kita melaksanakan ritual-ritual agama.

 

Sebagian orang mungkin akan menjawab: “saya beribadah supaya dapat pahala dari Tuhan”. Lalu, barangkali, ada pula yang mengatakan: “saya takut neraka, karena itu saya beribadah”. Yang lain bisa jadi akan menjawab: “saya salat supaya Tuhan menurunkan rezekinya pada saya agar saya bisa punya mobil, jabatan tinggi, dan rumah mewah”.

 

Jawaban-jawaban tadi tidak keliru, tapi juga tidak tepat. Bagi Muhamad, jawaban-jawaban di atas amat bersifat materialistik. Sepertinya Tuhan cuma bisa disogok dengan salat atau ibadah ritual lainnya. Sepertinya Tuhan dipaksa harus ikut kemauan mereka.

 

Saya teringat ucapan imam Ali bin Abi Thalib. Menurutnya, ada tiga golongan manusia ketika mereka melakukan kegiatan ritual ibadahnya.

 

Golongan pertama adalah golongan para budak. Logika budak adalah adanya tuan dan abdi. Ada yang menganiaya dan ada yang teraniaya. Pemeluk agama golongan pertama ini beribadah karena takut azab Tuhan. Mereka takut neraka. Bagi golongan pertama ini Tuhan adalah tuan, yang bisa saja menghukum bila mereka, para budak, tidak beribadah. Jadi, salat atau ibadah ritual lainnya hanya dilakukan karena ketakutan akan sebuah hukuman Tuhan.

 

Golongan kedua adalah golongan para pedagang. Layaknya seorang pedagang, segalanya dilihat dari perspektif takaran untung-rugi. Semuanya dihitung laba-ruginya. Apa yang saya berikan harus saya peroleh kembali dengan sesuatu yang lebih banyak dari apa yang telah saya investasikan. Di sini berlaku prinsip bisnis. Dengan demikian, ketika para pemeluk agama ini beribadah, mereka mengharapkan Tuhan memberikan mereka mobil, rumah, jabatan, dan harta lainnya. Tujuan ibadah bukan Tuhan, melainkan materi.

 

Golongan ketiga adalah golongan pecinta. Manusia golongan ini telah sampai pada sebuah sikap kecintaan pada Tuhan. Tuhan bersemayam dalam pikiran, hati, dan tindakan mereka. Para pemeluk agama golongan ini tak lagi mengharapkan surga atau takut neraka. Mereka tak merisaukan harta melimpah. Salatnya bukan karena harapan-harapan duniawi. Mereka beribadah untuk ibadah. Demi sebuah kecintaan pada Tuhan. Tuhan adalah kekasihnya. Mereka bersatu dalam Tuhan. Bagi mereka, kelezatan ibadah di dalam Tuhan merupakan kelezatan tiada banding.

 

Muhamad berjuang agar bisa masuk golongan pecinta. Muhamad sangat ingin bersua Tuhan. Tuhan adalah pusat segala ajaran agama, sehingga manusia mestinya saling memahami tanpa terperangkap dalam baju agamanya masing-masing. Bahkan, manusia seyogianya saling berdamai tanpa pretensi kesukuan atau kepentingan kelompoknya: cinta tanpa ambisi, cinta tanpa keinginan, cinta tulus di bawah atap ketuhanan.

 

Muhamad ingin bebas dari sifat kemutlakan doktrin agama. Baginya, semua manusia harus dipandang setara di hadapan Tuhan, apa pun agamanya. Kebenaran agama adalah kebenaran yang relatif. Bagi Muhamad, di dunia ini tak ada kebenaran absolut, karena, pada dasarnya, kebenaran di dunia adalah kebenaran yang dibangun di atas pendapat sebuah kelompok tertentu, sehingga amat sangat relatif terhadap pendapat kelompok lainnya. Sebuah kelompok pasti memiliki standar kebenarannya masing-masing.

 

Singkatnya, bagi Muhamad, di atas bumi ini kebenaran akan selalu relatif. Kebenaran absolut hanyalah Tuhan. Karena itu, mengatakan bahwa satu kelompok atau satu agama tertentu sesat adalah sebuah pendapat yang naif. Seseorang tentu mempunyai konstruksi pemikirannya sendiri mengenai kebenaran, yang bisa saja berbeda dengan bangunan kebenaran yang dimiliki orang lain. Dan, perbedaan konstruksi pemikiran semacam itu wajiblah dihormati. Komunikasi akan terjalin baik ketika pihak-pihak yang ada di dalamnya saling menghormati dan memahami perbedaan sudut pandang masing-masing.

 

Agama Muhamad adalah agama kasih sayang. Agama kasih sayang adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai universal kemanusiaan: cinta, kasih sayang, akhlak baik. Agama kasih sayang adalah agama yang mengedepankan cinta damai antarpemeluk agama. Agama kasih sayang adalah agama yang tidak mengajarkan penegasian kebenaran di luar agamanya.

 

Semua pemeluk agama bersaudara. Lewat salah satu puisinya, Agama Kemesraan, Emha Ainun Nadjib menulis syair berikut:

 

Siapa kau?

Namamu apa, kubumu yang mana

Berasal dari rumah nun di sana dan pilihanmu beda

Tak apa. Aku sedang belajar berhati dewasa

 

Kau tetap saudaraku jua

Kuajak kau membawa kembang cinta

Kita coba terus gandeng tangan dan nyanyi bersama

Coba kita temukan setiap sudut kebusukan

Kemudian kita taburkan padanya wewangian

 

Hidup sangat ruwet, tapi mungkin juga bersahaja

Kumohon saling kita setorkan kasih sayang

Bertahan dari kelakuan politik dan perebutan

Bersama menegakkan agama kemesraan

 

Cak Nun, melalui puisinya di atas, mencoba meneriakkan satu pandangan bahwa perbedaan adalah hal lumrah. Perbedaan adalah sesuatu yang alamiah. Justru, perbedaanlah yang akan mendewasakan kita bersama. Orang lain yang beda agama atau beda prinsip atau beda budaya adalah saudara kita juga. Perbedaan seyogianya dilihat dari perspektif cinta, kasih sayang, dan kemesraan.

 

Sekadar mengulang: kebenaran di dunia relatif, kebenaran absolut hanyalah Tuhan. Kita, manusia, tidak mengetahui secara pasti kebenaran yang ada dalam benak Tuhan. Oleh sebab itu, penghargaan terhadap pendapat orang lain atau agama lain menjadi sebuah keniscayaan. Dengan lain kata, mengatakan sesat pada suatu ajaran atau agama lain, hanya karena berbeda pendapat, bukanlah perbuatan bijaksana. Hal seperti itu tak bisa ditolerir.

 

Biarkanlah semua agama atau ajaran berkembang dengan tuntas dan wajar. Bukankah semua ajaran dan agama mengajarkan ketundukan pada Tuhan? Bukankah semua agama mengajarkan cinta kasih? Bukankah semua agama menganjurkan kasih sayang?

 

Nilai-nilai kasih sayang sebuah agama diperoleh dari penghayatan makna spiritualitas agama itu sendiri. Pemaknaan spiritualitas agama menjadikan manusia memandang Tuhan sebagai Sang Kekasih. Dan, pengalaman spiritualitas itu membuat seseorang berlaku cinta kasih terhadap orang lain, baik sama atau beda agama. Dalam spiritualitas agama, Tuhan akan terasa Maha Lembut dan Maha Penyayang; bukan Tuhan sebagai Pemarah, Pengadil, dan Pembenci.

 

Tuhan bukanlah radio, yang kita nyalakan ketika kita butuh suara musik merdu. Manusia seringkali menjadi pengemis di depan Tuhan. Mereka berdoa hanya untuk minta jodoh, pangkat, kelancaran bisnis. Manusia menyogok Tuhan agar Dia mau tunduk pada hukum permintaan manusia. Padahal, menurut saya, tanpa permintaan dan permohonan manusia, Tuhan tetap Maha Pengasih. Siapa pun dikasih. Tuhan tetap Maha Pecinta. Siapa pun dicinta.

 

Periksa Juga

Tak Bayar Konrakan, Hendak Kuasai Warisan Orang, IRT di Setapak 3 Mcn Gusung Bakal di Polisikan

Bagikan      NEWSSULSEL. id, Makassar – Diduga Ada upaya melawan hukum ibu rumah tangga (IRT) berinisial LN …

Tinggalkan Balasan