Faisal Djabbar , Seorang Pembelajar
Dulu, di negeri minoritas Islam, ada muazin bersuara buruk. Ia menyeru orang salat. Suaranya jelek, hingga banyak orang menasihatinya agar tak bersuara keras dalam berazan. Mereka khawatir suara muazin menyebabkan kerusuhan dan pertengkaran antara orang Islam dengan pemeluk lain agama. Mereka tinggal di negeri mayoritas tak beragama Islam. Tapi muazin menolak nasihat banyak orang. Ia merasa bahagia dapat melantunkan azannya yang tak indah itu. Ia merasa mendapat kehormatan memanggil salat di satu negeri dimana orang tak pernah salat.
Suatu hari seorang non-Islam datang membawa jubah, lilin, dan manisan. Dia datang dengan sikap bersahabat. Berkali-kali dia bertanya pada orang-orang sekitar.
“Dimana sang muazin itu? Tunjukkan padaku siapa muazin yang teriakannya selalu menambah kebahagiaan hatiku?” ujar si orang non-Islam.
“Kebahagiaan apa yang kau peroleh dari suara muazin itu?” tanya satu di antara penduduk muslim itu.
Lalu orang non-Islam itu bercerita, “Suara muazin itu menembus ke gereja, tempat kami tinggal. Aku punya seorang anak perempuan yang sangat cantik dan berakhlak mulia. Ia ingin sekali menikahi seorang mukmin sejati. Ia mempelajari agama, dan tampaknya tertarik masuk Islam. Kecintaan pada iman sudah tumbuh dalam hatinya. Aku tersiksa, gelisah, dan terus-menerus risau memikirkan anak gadisku. Aku khawatir dia akan masuk Islam. Dan aku tahu, tak ada obat yang dapat menyembuhkan dia. Sampai satu saat anak perempuanku mendengar suara azan itu.”
Anak perempuanku bertanya, “Apa suara yang tak enak ini? Suara ini mengganggu telingaku. Belum pernah dalam hidupku mendengar suara sejelek itu di tempat-tempat ibadat atau gereja.”
Saudara perempuannya menjawab, “Suara itu namanya azan, panggilan untuk beribadat bagi orang-orang Islam. Azan adalah ucapan utama orang beriman.”
Anakku hampir tak percaya. Dia bertanya padaku, “Bapak, apakah betul suara jelek itu adalah suara memanggil orang sembahyang?”
“Ketika sudah diyakinkan bahwa benar suara itu adalah suara azan, wajahnya berubah pucat pasi. Dalam hatinya tersimpan kebencian pada Islam. Begitu aku menyaksikan perubahan itu, aku merasa dilepaskan dari segala kecemasan dan penderitaan. Tadi malam aku tidur nyenyak. Dan kenikmatan serta kesenangan yang kuperoleh tak lain karena suara azan yang dikumandangkan muazin itu.”
Dia melanjutkan, “Betapa besar rasa terima kasih saya kepadanya. Bawalah saya kepada muazin itu. Aku akan memberikan seluruh hadiah ini.”
Kisah di atas adalah cerita Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi, yang dikisahkan kembali oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya The Road To Allah: Tahap-Tahap Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan (2007).
Rumi mengajari kita sebuah cerita berisi parodi atau sebuah sindiran yang sangat halus. Azan yang dilantunkan dengan buruk dapat menghalangi orang untuk masuk Islam. Keberagamaan yang bermaksud membawa orang pada agama berubah menjadi sesuatu yang menghalangi orang memasuki agama.
Dari cerita tadi, Jalaluddin Rakhmat menyimpulkan, ada dua macam kesalihan: kesalihan pulasan dan kesalihan batiniah.
Kesalihan pulasan adalah ketika kesalihan hanya terletak pada segi lahiriah. Orang meletakkan kemuliaan pada pelaksanaan secara harfiah teks-teks agama. Seperti orang azan, ia merasa azannya betul-betul melaksanakan perintah agama. Tapi karena yang mereka ambil hanya bungkusnya dan melupakan hakikatnya, yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang dimaksudkannya.
Kesalihan kedua, kesalihan batiniah, menekankan pentingnya memelihara lahiriah agama dengan tak melupakan aspek-aspek batiniah agama. Inilah kesalihan Bayazid Al-Bustami, kata Rumi. Ada rahasia dalam tiap ibadah yang kita lakukan. Dia bisa melihat sesuatu yang tersembunyi dalam praktik-praktik ritual agama. “Keimanan yang sebenarnya adalah keimanan yang dapat menarik semua orang pada haribaan Islam, apa pun bentuknya,” kata Jalaluddin Rakhmat.
Tafsiran saya atas pesan Kang Jalal adalah bahwa agama yang kita anut haruslah dapat dioperasionalkan.
Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri Indonesia tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah megah, di saat ribuan orang tua di pelosok-pelosok desa dan kota masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit.
Sebab itu nilai dan doktrin agama belum cukup. Belum tuntas. Jadi, janganlah hanya berhenti di situ. Perlu dipikirkan penjelasan operasional dari nilai dan doktrin agama. Agama menyuruh bersih, apa indikator bersih? Itu yang perlu dituangkan dalam poin-poin teknis. Agama menyuruh menjauhi perilaku korupsi, maka prinsip menghindari perbuatan korupsi mesti disusun dalam program-program aksi yang kongkrit.
Indonesia dan Filipina masuk golongan negara parah korupsi dalam daftar Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparency International. Sementara, di tingkat Asia pun, berdasarkan survei Political & Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2007, Filipina dan Indonesia masing-masing berada di urutan pertama dan kedua negara-negara Asia paling korup. Di peringkat atas negara-negara bersih korupsi salah satunya bercokol Finlandia.
Pada tahun 2023, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dan Filipina serupa, yakni 34 dari skala tertinggi 100. Skor ini menunjukkan parahnya korupsi di kedua negara tersebut.
Anehnya, Indonesia dan Filipina, negara yang katanya agamis, justru menjadi negara yang paling korup. Sebaliknya, Finlandia, yang sekuler, malahan jadi negara relatif bersih dari perilaku korupsi. Di Finlandia, ada penghargaan pada kebebasan untuk beragama atau tidak beragama. Agama adalah urusan pribadi tiap orang, negara tak berhak memaksa seseorang memeluk agama tertentu. Mengapa Finlandia bisa menjelma jadi negara bersih dari praktik korupsi? Setidaknya ada tiga faktor utama (Kompas, 2008).
Pertama, obidience, yakni sikap taat dan patuh kepada hukum. Hukum menjadi panglima. Siapapun patuh pada hukum, dari tingkat elite hingga supir taksi.
Kedua, sifat jujur kepada diri sendiri dan orang lain. Perdana Menteri perempuan pertama Finlandia Anneli Jaatteenmaki dituntut mundur pada Juni 2003 karena dia dituduh berbohong pada parlemen dan rakyat mengenai persoalan kebocoran informasi politik yang peka sewaktu beliau kampanye.
Ketiga, gaya hidup sederhana dan tidak konsumeris. Orang Finlandia bukanlah orang-orang konsumeristik. Mereka tak peduli merek apa yang dipakai. Yang diperhatikan dalam membeli sesuatu adalah fungsi barang tersebut, yang juga disesuaikan dengan penghasilan mereka.
Pertanyaan mendasar ialah apa yang salah di sini? Kenapa negara yang semua penduduknya beragama seperti Indonesia lebih korup ketimbang negara sekuler seperti Finlandia? Apakah agama tak mampu membentuk pemeluknya hidup bersih dan tertib? Ataukah justru si pemeluk agama yang tak bisa menginternalisasikan dan mentransformasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial?
Sebetulnya pertanyaan di atas timbul dari persoalan klasik yang dialami negeri kita. Ulama banyak, kiai melimpah, pendeta tak sedikit, masjid muncul bak jamur di musim hujan, gereja meruah, pura ada. Tapi kriminalitas tak tuntas, pelanggaran lalu lintas jalan terus, korupsi tak sepi. Apakah ini kegagalan agama?
Menurut Romo Franz Magnis-Suseno, agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi, karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah yang ritual saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial.
Menurut Romo Magnis, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi emosional dengan pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar, kekuatan relasi emosional itu bisa menyadarkan umat bahwa korupsi berdampak buruk.
Beranjak dari pendapat Franz Magnis-Suseno, sesungguhnya, ada persoalan mendasar di sini, yakni pendidikan agama yang terlalu kuat berkutat pada pendidikan ritual agama dan cara beribadah. Ada dinding pemisah antara ibadah ritual dengan ibadah kemasyarakatan.
Karena itu, dibutuhkan pendidikan agama yang tak cuma mengajarkan cara ibadah yang ritual, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebaikan. Menginternalisasikan doktrin agama. Pemaknaan terhadap ajaran-ajaran ritual. Dengan begitu nilai-nilai ajaran agama tidak teronggok di masjid, gereja, vihara, atau pura. Tapi terbawa dalam kehidupan sosial. Nilai agama dibawa ke kantor, pasar, sekolah, kampus, dan rumah.