Faisal Djabbar Ketua Wadah Pegawai KPK 2014-2016: Empat

NEWSSULSEL,id “Aku ingin Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan pada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menyampaikan pada dunia, bahwa kami bukan bangsa pandir, seperti orang Belanda berulang kali mengatakan pada kami. Bahwa kami bukan lagi inlander goblok yang hanya baik untuk diludahi, seperti orang Belanda mengatakan pada kami berkali-kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing yang berjalan menyuruk-nyuruk memakai sarung dan ikat kepala. Merangkak-rangkak seperti yang dikehendaki majikan-majikan kolonial di masa silam.”

“Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekejap. Aku membaca tiap malam, berpikir tiap malam, dan aku sudah bangun lagi jam lima pagi. Aku bukan manusia yang tak punya kesalahan. Tiap makhluk membuat kesalahan. Aku minta maaf kepada rakyatku, di muka umum, atas kesalahan yang kutahu telah kuperbuat, dan atas kekeliruan-kekeliruan yang tak kusadari. Barangkali kesalahanku ialah bahwa aku selalu mengejar cita-cita dan bukan persoalan-persoalan yang sepele. Aku tetap mencoba menundukkan keadaan, sehingga ia dapat dipakai sebagai jalan mencapai apa yang sedang dikejar.”

“Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku. Seringkali badanku lemas, nafasku akan berhenti apabila aku tak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku.”

Rentetan kalimat panjang barusan adalah testimoni Soekarno di hadapan Cindy Adams, wartawati Amerika Serikat yang menulis buku biografi presiden pertama negeri ini, Ir. Soekarno: Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Bung Karno, seperti kita tahu, ialah orang yang berjasa mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Dia pemimpin sejati. Seorang pemimpin yang berani, tabah, cerdas, dan patut menjadi panutan. Soekarno menunjukkan bangsanya jalan menuju kemerdekaan. Dia menyatukan bangsanya, memberdayakan bangsanya untuk berani menghadang penjajah.

Soekarno bisa menjadi contoh dari seorang pemimpin sejati. Meski juga punya kesalahan. Tapi apakah pemimpin selalu mesti bebas dosa?

Lantas apakah dasar penilaian bagi pemimpin sejati? Stephen Covey memberikan pedoman. Menurutnya, ada empat fungsi dasar yang dapat jadi standar bagi pemimpin sejati. Covey menyebutnya empat fungsi kepemimpinan (4 roles of leadership). Pertama, fungsi perintis (pathfinders role). Kedua, fungsi penyelaras (aligning role). Ketiga, fungsi panutan (modelling role). Dan keempat, fungsi pemberdaya (empowering role).

Jadi, ada empat fungsi kepemimpinan yang seyogianya terpatri dalam sikap, pikiran, dan perilaku seorang pemimpin. Di sana ada fungsi pathfinding, aligning, modelling, dan empowerment. Atau dalam akronim Indonesia disingkat 4P, yakni Perintis, Penyelaras, Panutan, dan Pemberdaya. Mari kupas satu persatu.

Pertama, fungsi perintis. Fungsi perintis mengungkapkan kemampuan pemimpin dalam menentukan visi. Dalam hal ini pemimpin adalah seorang yang melihat ke depan, visioner. Membawa pengikutnya mencapai visi, serta menunjukkan bagaimana cara sampai ke sana.

Mahatma Gandhi merintis jalan demi kemerdekaan India. Gandhi memiliki satu pandangan kukuh bahwa kekerasan tak perlu dilawan dengan kekerasan. Kekerasan akan lumpuh di depan kelembutan. Dia menjadi teladan rakyat India dalam perjuangan merebut kebebasan lewat jalan non-kekerasan (ahimsa).

Bacalah pesona Gandhi lewat pena penulis Stanley Wolpert, “Dalam kesederhanaan dan kerentanan, yang telanjang dan kelaparan, Gandhi didorong hati nuraninya, mengajak orang untuk mengikutinya mendaki via Dolorosa India dengan kaki telanjang, menuju kebebasan. Dan jutaan orang tanpa ragu-ragu ikut di belakangnya. Bukan sebagai pemimpin politik, bukan sebagai pangeran, atau maharaja perang. Tapi sebagai Mahatma; jiwa agung. Itulah satu-satunya gelar yang pernah singgah pada Gandhi; bahkan gelar itu jadi terlalu membebaninya bagi semangat besarnya.”

Gandhi membimbing rakyatnya karena adanya kekuatan keyakinan dalam dirinya akan suatu kejayaan di depan matanya. Dia punya visi.

Kedua, fungsi penyelaras. Fungsi ini memungkinkan pemimpin menyelaraskan semua komponen yang ada. Dia mampu bersinergi. Dia sanggup menggerakkan komponen-komponen di sekelilingnya untuk bekerja sama dan bersama bekerja.

Ketiga, fungsi panutan. Seorang pemimpin harus bisa menjadi individu yang bisa ditiru. Menjadi imitasi bagi orang lain, baik sifatnya, perkataannya, dan perilakunya. Di sini dibutuhkan integritas dan kredibilitas. Satunya perkataan dan perbuatan.

Keempat, fungsi pemberdaya. Seorang pemimpin yang paripurna adalah pemimpin yang bisa melahirkan pemimpin baru. Melahirkan pemimpin baru yang punya kompetensi mumpuni.

Indonesia butuh pemimpin yang bisa merangkup semua kualitas yang disebutkan Covey di atas. Saya sangat yakin, dengan jumlah penduduk lebih dari seperempat miliar orang, Indonesia mempunyai modal besar bagi lahirnya pemimpin-pemimpin berkualitas. Waktu akan berbicara sendiri.

Apakah pejabat-pejabat publik di Indonesia saat ini memiliki kualitas kepemimpinan seperti disebutkan di atas, saya serahkan jawabannya pada Anda masing-masing…(*)

 

Periksa Juga

3 Anggota Polrestabes Maksssar Dipecat, 2 Terbukti Terima Sogokan Dari Pengedar Narkoba

Bagikan      NEWSSULSEL.id, Makassar – Tiga anggota Polrestabes Makassar dipecat. Dua diantaranya terbukti terima sogokan dari jaringan peredaran …

Tinggalkan Balasan