Faisal Djabbar
Seorang Pembelajar, Pemerhati Kebijakan Publik
Rasanya kita takkan kaget membaca data di bawah ini. Semua data itu merupakan fakta usang dan lumrah. Bahkan, mungkin, kita sendiri pun tiap hari menonton atau melakoni langsung kenyataan tersebut.
Dalam lima tahun terakhir, penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia relatif sangat rendah. Sejak September 2019 sampai Maret 2023, jumlah penduduk miskin hanya turun 1,11 juta orang. Kondisi ini diperburuk oleh penurunan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia yang relatif rendah. Jumlah pengangguran turun sebesar 1,9 juta orang dalam lima tahun terakhir, dari 9,77 juta orang pada 2019 menjadi 7,86 juta orang pada 2023.
Dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang relatif tinggi tersebut, sangat wajar bila sebagian masyarakat miskin dan para penganggur bekerja di sektor-sektor informal. Penduduk miskin dan penganggur, yang bekerja di sektor informal, umumnya memiliki kemampuan dan modal yang minim, sehingga tidak punya pilihan selain menekuni pekerjaan informal itu (Basri, 2009).
Akibatnya, mereka dituntut mengupayakan apa saja untuk mendapatkan sedikit keuntungan atau imbalan, sekadar untuk menyambung hidup. Data BPS per Februari 2023 menunjukkan sebanyak 83,34 juta orang merupakan pekerja informal. Angka ini setara 60,12 persen dari total pekerja di Indonesia. Dan, jelaslah bahwa kondisi ini bukanlah kenyataan ekonomi dan realitas sosial yang menggembirakan.
Ketimpangan ekonomi dan sosial tampak jelas terlihat. Koefisien Gini, yang merupakan indikator utama ketimpangan ekonomi atau pendapatan penduduk, memperlihatkan kesenjangan tersebut. Berdasarkan data BPS per Maret 2023, rata-rata koefisien gini Indonesia sebesar 0,388. Angka ini lebih tinggi ketimbang rata-rata koefisien gini pada September 2022 yang mencapai 0,381. Kian besar nilai koefisien, kian tinggi tingkat kesenjangan ekonomi masyarakat.
Lebih dari pada itu, tidak dapat dibantah bahwa kualitas pelayanan publik pemerintah tidak kalah memprihatinkan. Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2023 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghasilkan skor rata-rata nasional 70,97 dari skala 0 – 100. Skor ini menunjukkan rendahnya integritas penyelenggara negara dalam pelayanan masyarakat.
Pada 2023, Ombudsman RI mengumumkan lima Kementerian yang memperoleh penilaian sedang (skor di bawah 78) dalam kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik. Kelima instansi itu yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Indikator utama survei adalah pemenuhan standar pelayanan, maklumat pelayanan, dan pengelolaan pengaduan.
Pelayanan publik, sesuai UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Poin penting penunjang pelaksanaan pelayanan publik adalah kemampuan birokrasi mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel.
Sulit dipungkiri, masalah-masalah di atas timbul karena masifnya korupsi. Dapat dikatakan bahwa korupsi mengakibatkan tingkat kemiskinan yang tinggi, tingkat pengangguran yang menaik, pekerjaan di sektor informal membesar, kesenjangan kesejahteraan melebar, dan menurunnya kualitas pelayanan publik.
Dalam uraian Penjelasan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diakui secara terang bahwa tingkat korupsi yang masif di Indonesia membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.
Kita tahu, negara berkewajiban memajukan derajat kemakmuran rakyatnya. Negara musti sanggup memuaskan tuntutan kesejahteraan sosial rakyatnya. Hak konstitusi adalah hak yang melekat pada tiap warganegara untuk meraih perlindungan, kesetaraan, kehidupan layak, dan kesejahteraan (Bahari, Kompas, 26 September 2012). Kewajiban dan tanggung jawab itu harus terpenuhi, apakah negara itu kaya atau tidak, karena bila tidak negara tersebut patut dikategorikan sebagai negara gagal, failed-state, ujar Sri-Edi Swasono (2012).
Kewajiban negara menyejahterakan rakyatnya sesungguhnya sudah tertuang secara tegas dan eksplisit dalam konstitusi. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal 28H ayat 1 (perubahan kedua) tercetus amar: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Lalu, pasal 28H ayat 2 memberi mandat bahwa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dan, pasal 28H ayat 3 memerintahkan negara agar “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”
Lebih jauh, sejumlah pasal lain dalam konstitusi menguatkan tanggung jawab negara untuk memajukan kesentosaan warganya. Pasal 33 ayat 3 berbunyi, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal 34 ayat 1 (amandemen keempat) mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Kemudian, pasal 34 ayat 2 mendesak negara untuk “mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Lalu, dalam pasal 34 ayat 3 disebutkan bahwa “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”
Pesan konstitusi ini sesungguhnya sudah jauh lebih dahulu sebelum Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi tahun 1998, mengatakan perlunya pembangunan sebagai proses menuju kebebasan. Bila pembangunan adalah sebuah proses menuju kebebasan, maka, bagi Sen, pembangunan mensyaratkan sirnanya sumber-sumber utama ketidakbebasan. Pangkal pokok ketakmandirian itu adalah kemiskinan, tirani, peluang berusaha yang diisolasi oleh negara, penghirauan akan penyediaan fasilitas-fasilitas yang bermanfaat bagi publik, pemerintahan yang represif, negara yang otoriter, dan masyarakat yang intoleran (Sen, 1999).
Semua data dan beberapa gambaran wajah bangsa di atas sesungguhnya adalah fakta-fakta usang yang terus menghantui negeri ini. Hal-hal di atas pastilah akan menjadi pekerjaan rumah bagi presiden baru. Barangkali saat ini semua parpol masih hanyut dalam isu-isu koalisi partai, sehingga belum masuk ke dalam isu-isu nyata dalam masyarakat. Tetapi, bagaimana pun inilah tanggung jawab utama dan pertama buat presiden baru.