Mediasi Sengketa Tanah Adat Kajang Buntu, Pemkab Bulukumba Dianggap Tak Netral Sikapi Persoalan

NEWSSULSEL.id, Bulukumba – Upaya mediasi persoalan tanah adat Kajang, di Pengadilan Negeri (PN) Bulukumba, kembali menemui jalan buntu. Sengketa yang melibatkan masyarakat adat Kajang dengan Ketua Adat kajang justru semakin rumit setelah keterlibatan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulukumba yang dianggap tak netral sikapi persoalan berpihak kepada Ketua Adat kajang

Warga masyarakat adat Kajang yang selama ini telah menguasai dan mengelola tanah secara turun-temurun mengungkapkan kekecewaannya. Mereka menilai proses mediasi yang diharapkan menjadi jalan tengah justru berubah menjadi alat legitimasi pengambilalihan sepihak oleh pihak ketua adat kajang, dengan dukungan dari pihak Pemda.

“Tanah ini bukan baru kami kelola sehari dua hari. Ini warisan leluhur kami, sudah lebih dari 50 tahun Tapi sekarang, malah kami dianggap tidak punya hak,” ungkap Mappi Bin Baco salah satu anak dari Baco Bin Lambeng dalam mediasi di Pengadilan Negeri Bulukumba.

Menurutnya, peran Pemda Bulukumba yang justru mendukung Ketua Adat Kajang memperkeruh suasana. Warga merasa tertekan dan kehilangan ruang untuk menyampaikan keberatan mereka secara adil.

“Kami kecewa, jika betul Pemda yang seharusnya menjadi fasilitator netral justru ikut mendorong proses hukum dalam pengambilalihan tanpa mempertimbangkan sejarah penguasaan dan pengelolaan tanah oleh masyarakat,” tegasnya.

Masyarakat Kajang yang menjadi pihak penggugat dalam perkara ini mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba untuk tidak tinggal diam. Mereka berharap pemerintah hadir secara netral dan berpihak pada keadilan.

“Kami dari lembaga pendamping bersaudara minta pemerintah jangan membiarkan rakyatnya diabaikan. Tanah adat adalah milik masyarakat, bukan milik pribadi Ketua Adat. Ini harus diluruskan agar tidak ada lagi rakyat kecil yang dirugikan,” Ujar Ketua DPW Sulsel Aliansi Indonesia Kaharuddin Situru.

Namun, menurut kuasa hukum masyarakat adat, tindakan pengambilalihan sepihak yang dibantu oleh Pemda Bulukumba melanggar prinsip-prinsip hukum agraria dan hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ini merupakan salah satu kasus yang menjadi sorotan dalam sidang Mediasi dimana tanah kebun yang sejak tahun 1973 telah dikelola oleh Baco bin Lambeng. Tanah tersebut telah dikuasai secara turun-temurun dan setiap tahun dibayarkan pajaknya. Namun kini, Ketua Adat disebut-sebut mencoba merebut lahan tersebut dari tangan warga.

“Kesewenang-wenangan Ketua Adat telah melampaui batas. Hak masyarakat adat tidak lagi dihargai. Ini bukan soal adat yang dijalankan, tetapi soal penyalahgunaan kuasa,” ujar Abdul Hakim, S.H., usai sidang.

Landasan Hukum:
Tanah Adat dan Perlindungan Hukum
Dalam konteks hukum nasional, tanah adat atau tanah ulayat diakui keberadaannya melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya dalam Pasal 3:

“Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa hutan adat dan tanah ulayat bukan lagi milik negara, melainkan berada di bawah kewenangan masyarakat hukum adat, selama keberadaannya masih diakui.jadi apa urgensi pihak Pemda mencampuri permasalahan masyarakat adat dan ketua adat ini.

Meski demikian, dalam implementasinya, konflik penguasaan tanah adat sering kali muncul akibat perbedaan tafsir antar tokoh adat dan tidak adanya pendataan serta pengakuan formal dari pemerintah daerah.

Masyarakat adat kajang atau Mappi beryaudara akan tetap mengikuti Jalur Hukum karena proses mediasi dinilai menemui jalan buntu, masyarakat adat Kajang kini mempertimbangkan menempuh jalur hukum untuk mempertahankan hak atas tanah yang mereka kelola sejak turun-temurun. Mereka juga mendesak Komnas HAM dan Kementerian ATR/BPN untuk turun tangan. dan akan melakukan persuratan untuk meminta keadilan kepada bapak Presiden RI.

“Kami tidak menolak adat, tapi kami menolak dominasi tunggal yang mengabaikan sejarah dan hak kolektif kami. Kalau mediasi tidak menyelesaikan, kami siap membawa ini ke ranah hukum yang lebih tinggi,” ungkap Mappi Bin Baco

Humas PN Bulukumba yang dikonfirmasi awak media terkait surat kuasa dari Ketua Adat ke Pengacara Pemkab Bulukumba dan pengacar adat mengatakan betul adanya surat kuasa yang di tanda tangani langsung oleh ketua Adat Kajang. namun tidak bisa memperlihatkan surat kuasa tersebut.

Sementara dari beberapa orang yang hadir dalam madiasi dari kuasa Pemda Bulukumba tak ingin berkomentar saat di temui oleh beberapa awak Media di depan pengadilan Negeri Bulukumba.

Di lain pihak menurut salah satu masyarakat adat kajang menyampaikan bahwa ketua adat kajang tidak memiliki identitas dan tidak boleh membuat adanya cap jempol atau pun tanda tangan karena ketua adat kajang harus netral dalam menghadap persolan masyarakat kajang.sehingga bisa dikatakan ketua adat kajang melanggar aturan adat kajang yang telah di sepakati turun temurun bila betul ada tanda tangan nya. sehingga surat kuasa tersebut di pertanyakan legalitasnya…(*)

Lp. Tim Redaksi.

Periksa Juga

Zulkifli Duga Wali Kota Tak Paham Tempatkan Direksi Perumda, Labrak Aturan Mendagri

Bagikan      NEWSSULSEL.id, Makassar – Hasil perombakan struktur kepengurusan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Kata Makassar menui tanggapan, …

Tinggalkan Balasan