Sutan Takdir Alisjahbana: sketsa keberanian

Faisal Djabbar , Seorang Pembelajar dan Pemerhati Kebijakan Publik

NEWSSULSEL.id

Tidaklah mengherankan bila Sutan Takdir Alisjahbana sangat mengidolakan barat. Tidaklah pula terlalu menakjubkan membaca kekaguman Takdir pada rasionalitas. Tidaklah juga amat memukau mengetahui keyakinan Takdir bahwa filsafat dapat mengatasi beragam persoalan manusia.

 

Kacamata yang saya pakai ketika membaca Takdir adalah kacamata kekinian. Yakni, ketika paham modern sedang berada di puncak. Karena itu, gagasan Takdir menjadi hal yang lumrah sekarang. Justru dengan itu, “Sutan Takdir Alisjahbana tidak banyak dibicarakan lagi, apalagi filsafatnya” (Franz Magnis-Suseno, 2013).

 

Namun, akan menjadi luar biasa ketika membaca Takdir dengan memperhatikan kerangka zaman dan konteks ke-Indonesia-an sewaktu dia menyampaikan gagasan-gagasannya. Saat ide-ide Takdir menyebar, Indonesia diwarnai oleh kepicikan berpikir primordial: sebuah masyarakat yang mempercayai kemutlakan nilai-nilai agama, estetik, dan komunal, yang oleh Takdir disebut sebagai “kebudayaan-kebudayaan ekspresif”, berlawanan dengan nilai-nilai modernitas yang maju, yang disebutnya “kebudayaan-kebudayaan progresif”.

 

Melempar pemikiran yang berlainan dengan pandangan umum membutuhkan keteguhan dan keperkasaan. Juga, kecerdasan berargumen. Itulah yang saya tangkap saat mendaras Takdir. Dalam tulisan ini saya ingin sekadar merefleksikan keberanian berpikir berbeda dari seorang Takdir di tengah-tengah pendapat umum bangsanya.

 

Keberanian Takdir berakar dari kejujuran berpikirnya. Keberanian berpikir Takdir barangkali berasal dari intisari filsafatnya. Dalam filsafatnya, mengutip Magnis-Suseno, “manusia tidak dapat lari dari ketegangan dialektis antara otonominya dan acuan heteronom terhadapnya otonominya itu harus membuktikan diri. Otonomi manusia berakar dalam kata hati, dalam kesadaran tegas seseorang bahwa apa pun yang diharapkan atau dituntut lingkungannya, namun ia harus mengikuti kata hati yang mengatakan kepadanya bahwa ia tak pernah boleh melakukan sesuatu yang tidak baik, tidak jujur, tidak adil.”

 

Membaca latar singkat pribadinya, Takdir memang sudah bergumul dengan alam pikiran sejak muda. Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Tapanuli, Sumatera Utara, 11 Februari 1908. Sekolah Dasar dihabiskannya di Hollandsh Inlandsche School, Bengkulu. Kemudian, Sekolah Menengah Pertama di Kweekschool, Bukit Tinggi. Takdir melanjutkan Sekolah Menengah Atas di Hogere Kweekschool, Bandung. Ia lulus dari Bandung pada 1928, ketika Jakarta bergema oleh teriakan Sumpah Pemuda. Setelah itu, ia menjadi guru di Palembang. “Yang menarik baginya adalah alam pikiran. Takdir orang yang selalu ingin tahu. Dan selalu merefleksikan segala pengalamannya. Dan karena itu ia membaca.”

 

Takdir ialah salah seorang penggagas angkatan Pujangga Baru. Istilah pujangga baru diambil dari nama majalah yang didirikannya, Poedjangga Baroe, bersama dua rekannya, Armijn Pane dan Amir Hamzah. Di situlah ia menulis esai-esai progresif seputar bahasa dan sastra. Sekaligus memberi contoh yang elok tentang bagaimana menulis dalam bahasa Indonesia modern. Pada tahun 1930, Takdir diterima menjadi pegawai Balai Pustaka. Di sana, Takdir menerjemahkan serangkaian pidato-pidato Volksraad atau Dewan Rakyat. Novel Dian Tak Kunjung Padam dan Layar Terkembang juga ditulisnya saat ia bekerja di Balai Pustaka (Tempo, 2008).

 

Takdir sadar bahwa syarat fundamental pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah sebuah tata bahasa Indonesia modern. Karenanya, menurut Takdir, diperlukan sebuah pedoman bahasa, yang menyatukan semua orang. Bahasa pemersatu menjadi urgen, karena pada waktu itu bahasa yang beredar sangat beragam: Melayu, Bugis, Jawa, Sunda. Di era itu batas antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia masih kabur dan campur aduk. Dalam konteks itu, inilah menurut saya salah satu gambaran seorang Takdir yang pandangannya terarahkan ke masa depan.

 

Takdir, menurut saya, adalah fenomena karena keberaniannya berpikir dan berargumen. Keberanian seorang penganut individualisme di hadapan cara pikir komunalisme bangsanya. Perjalanan hidupnya sarat polemik. Takdir kerap beradu pemikiran dengan para intelektual lain. Pada 17 Mei 1986, contohnya, Takdir menulis kolom di Majalah Tempo berjudul Polemik Kebudayaan, Setelah 50 Tahun. Dalam tulisannya di Tempo itu, Takdir berhasrat membangun kebudayaan baru, dan sama sekali meninggalkan tradisi.

 

Kolom itu mendapat tanggapan Arief Budiman, Umar Kayam, Abdurrahman Wahid, Daoed Joesoef, Goenawan Mohamad, Taufik Abdullah, dan Sutardji Calzoum Bachri.

 

Goenawan Mohamad, misalnya, menulis kolom bertajuk Beberapa Tusuk Sate dan Segelas Rum. Menurut Goenawan, sate yang dibakar di pemanggangan tua justru akan lebih lezat. Sedangkan rum, lebih enak disuling dari peralatan kuno abad 18 ketimbang memakai tanki-tanki enamel putih dan pipa kronium dari pabrik. Berbeda dengan Takdir, bagi Goenawan tradisi tidak musti ditinggalkan. Masih banyak peninggalan-peninggalan budaya yang menggiurkan sekaligus mencerahkan.

 

Tetapi, Takdir tetap pada pendiriannya: membangun budaya baru, dan mengabaikan tradisi. Takdir tetap berpendapat bahwa tradisi harus sepenuhnya ditinggalkan. Takdir memang keras kepala. Seluruh tanggapan itu dijawab kembali oleh Takdir lewat tulisan berjudul Menutup Polemik Kebudayaan, Membuka Lapangan Pemikiran Baru. Tulisan itu dimuat majalah Ilmu Budaya, pada Agustus 1986.

 

Jauh ke belakang, pada 1935, Takdir pun pernah berpolemik dengan Dr Sutomo, Sanusi Pane, Adinegoro, Ki Hajar, Poebatjaraka, dan Dr Amir. Polemik dipicu tiga naskah Takdir di majalah Poedjangga Baroe. Ketiga naskah itu yakni Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru Indonesia, Semboyan Tegas, Pekerjaan Pembangunan Bangsa Sebagai Pekerjaan Pendidikan.

 

Pada naskah pertama, Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru Indonesia, Takdir menganggap Borobudur dan Prambanan sesungguhnya tidaklah mencerminkan Indonesia, tetapi pra-Indonesia; zaman jahiliah Indonesia.

 

Naskah kedua, Semboyan Tegas, Takdir mengritik visi pendidikan dari Dr Sutomo, Radjiman Wedyodiningrat, dan Ki Hajar. Pemikiran pendidikan Dr Sutomo bersumber pada optimismenya terhadap pendidikan pesantren. Dalam artikel berjudul National-Onderwijs Congress, Dr Sutomo mengatakan bahwa pesantren bisa menjadi pilihan, karena sekolah Belanda, HIS, hanya meluluskan 30 persen alumni yang meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

 

Takdir, sebaliknya, menganggap pendidikan pesantren adalah sebuah sikap anti-intelektualisme, individualisme, dan anti-materialisme. Menanggapi artikel Dr Sutomo, dalam artikelnya, Pendidikan Barat dan Pesantren, Takdir menulis bahwa pendidikan barat lebih unggul ketimbang pesantren. “Semuanya mau pulang ke pesantren. Pulang ke kebudayaan mereka semula. Ketika itu saya merasa aneh. Kok, ganjil betul?”.

 

Bagaimanapun, dari apa yang saya baca, Takdir tetap menyangkal segala kemungkinan eksplorasi tradisi. Tak mungkin, kata Takdir, adanya sintesis Barat dan Timur. Bagi Takdir, tak akan mungkin terjadi perpaduan budaya Barat dan Timur. Barat adalah segalanya. Indonesia, musti berani menjalani modernisasi secara konsekuen (Franz Magnis-Suseno, 2013).

 

Tiada jalan kembali dan tiada jalan di tempat, bangsa Indonesia harus bertransformasi dari budaya ekspresif ke budaya progresif. Bangsa ini harus mampu berpikir rasional, materialis, dan individualis. Takdir kuatir bahwa pemujaan terhadap nilai-nilai ketimuran sendiri hanya menjadi benteng rasa puas diri, “perisai untuk tidak perlu berinisiatif, maju, berjuang, berkembang.”

 

Takdir memang menjadikan Barat sebagai kiblat. Tapi, menurut Sapardi Djoko Damono (Tempo, 2008), Takdir sama sekali tidak menyarankan mengganti Bahasa Indonesia dengan Bahasa Barat. Malahan, Takdir menyarankan membentuk satu bahasa Indonesia modern untuk menyatukan bangsa Indonesia.

 

Akhirnya, pertanyaan Romo Franz Magnis-Suseno dalam sebuah makalahnya cukup menggelitik: bagaimana Anda menyikapi cita-cita Takdir tentang Indonesia yang modern? Menurut saya, Indonesia modern adalah harapan yang wajar. Pengalaman empirik seorang Takdir dalam kesehariannya mengecap tanah dan air negeri ini, dimana warga yang ditemuinya bagi dia enggan bergerak maju, maka gambaran bangsa yang modern menjadi lazim.

 

Namun, bagi saya, bangsa yang modern belumlah cukup. Dia harus digabungkan dengan prinsip nasionalisme supaya kemajuan yang ingin dicapai adalah kemajuan yang berlandaskan pada kesejahteraan masyarakat bersama, bukan kepentingan kalangan tertentu dan terbatas.

Periksa Juga

Satgas Yonif 512/QY Beri Perhatian Kesehatan Anak Sekolah di Kampung Umuaf.

Bagikan      NEWSSULSEL.id, Keerom – Kepedulian terhadap kesehatan generasi muda kembali ditunjukkan oleh Satgas Yonif 512/QY. Saat …

Tinggalkan Balasan