Urgensi Memasukkan Politik Uang dalam Ranah Korupsi

Faisal Djabbar , Seorang Pembelajar dan Pemerhati Kebijakan Publik

NEWSSULSEL.id Amin Santono, seorang mantan anggota DPR periode 2014-2019, divonis 8 tahun penjara, dengan denda Rp 300 juta, subsider tiga bulan kurungan (2019). Amin terbukti bersalah karena menerima suap. Ketika itu, Amin mengusahakan adanya alokasi anggaran tambahan untuk Kabupaten Lampung Tengah dan Sumedang dalam APBN tahun 2018. Fakta persidangan mengungkapkan bahwa uang suap yang diterima Amin diduga untuk membiayai pemenangan anaknya dalam pemilihan Bupati Kuningan, Jawa Barat, tahun 2018.

 

Berita di atas hanyalah satu di antara sejumlah kabar mengenai pendanaan politik dalam pemilihan umum, baik itu dalam pemilihan presiden, anggota legislatif, maupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah di Indonesia telah meninggalkan persoalan klasik, yang selalu saja tidak tuntas penyelesaiannya dan terus terjadi di setiap pilkada, yakni politik uang.

 

Politik uang merupakan salah satu penyakit akut dalam sistem demokrasi. Politik uang dapat merasuk ke dalam sistem demokrasi semua negara demokratis, baik negara maju maupun negara berkembang. Yang membedakannya hanyalah level keakutan politik uang tersebut. Umumnya, politik uang tumbuh subur di negara-negara demokrasi yang berasal dari negara-negara berkembang dan memiliki pendapatan per kapita yang rendah. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika politik uang tumbuh subur di Indonesia.

 

Namun, sayangnya para pembuat kebijakan di Indonesia kurang memberikan perhatian yang mendalam mengenai pentingnya pemberantasan politik uang dalam sistem demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari minimnya aturan yang mengatur tentang politik uang. Padahal tidak dapat dipungkiri, politik uang merupakan salah satu pemicu utama korupsi di negara-negara penganut demokrasi.

 

Pengertian politik uang dalam lingkup regulatif termuat dalam setidaknya dua aturan. Pertama, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Kedua, Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

 

Dalam Pasal 73 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, politik uang berarti bahwa “Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.”

 

Lalu, dalam Pasal 71 ayat 1 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017, politik uang dimaknakan dengan narasi bahwa “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi Pemilih.”

 

Apa, kemudian, sanksi bagi pelanggar aturan politik uang?

 

Pasal 187A ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

 

Sementara itu, dalam Pasal 78 ayat 1 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 tertulis “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota, dikenai sanksi pembatalan sebagai Pasangan Calon oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/kota dan dikenai sanksi pidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

 

Oleh karena itu, secara umum, ada dua sumber pemicu perilaku korup dari pelaksanaan politik uang.

 

Pertama, penyaluran dana kampanye kepada calon pemilih. Hal ini dikarenakan para calon kepala daerah atau legislator masih berpikiran pragmatis bahwa uang, bukan visi dan misi kandidat, sangat vital dalam menentukan kemenangan pemilu atau pilkada. Semakin besar sumber dana yang dimiliki, semakin besar kemungkinan menang. Hasil survei KPK (2018) menemukan bahwa komponen biaya yang memakan dana besar dalam pilkada adalah sosialisasi (pertemuan), biaya operasional (logistik, transportasi, konsumsi peserta, atribut, baliho, dll), biaya saksi, dan dana kampanye.

 

Pola pikir di atas didasarkan atas pemikiran bahwa konstituen dapat digiring atau dibeli hak pilihnya untuk memilih sang kandidat dengan menggunakan uang, hadiah, atau hiburan. Ironisnya, masih banyak juga masyarakat, terutama yang berpendidikan menengah ke bawah, yang menganggap ajang Pemilu atau pilkada merupakan sarana bagi-bagi uang dan hadiah dari para kandidat ke masyarakat pemilih. Kondisi ini merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam tingginya ongkos politik dalam sistem demokrasi liberal, sehingga menyebabkan sejumlah warganegara yang memiliki “integritas” enggan untuk maju sebagai kandidat dalam pemilu atau pilkada disebabkan ketidakmampuan mereka menutup biaya pilkada secara legal.

 

Selain itu, tingginya ongkos politik menyebabkan pihak-pihak yang berambisi maju sebagai peserta pilkada dapat terpeleset dalam jurang korupsi karena mereka dapat terpicu untuk menghalalkan berbagai cara untuk menghimpun dana. Namun, sayangnya tidak ada aturan yang jelas dan sanksi yang keras atas permasalahan politik uang ini.

 

Kedua, faktor penghimpunan dana. Kita semua mahfum bahwa untuk dapat mengikuti Pemilu, terutama sebagai kandidat kepala daerah, diperlukan modal yang sangat besar, yang umumnya tidak mampu ditanggung oleh para kandidat, meskipun banyak di antara mereka yang telah menghabiskan banyak hartanya. Konsekuensinya, mereka akan berusaha untuk menutupi kekurangan dana tersebut dari berbagai sumber, terutama pengusaha atau manipulasi APBD/N.

 

Tak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini pengusaha (pebisnis) atau korporasi merupakan salah satu pemasok dana utama bagi para kandidat pilkada. Di titik inilah yang harus diwaspadai oleh para kandidat kepala daerah mengingat jika tidak hati-hati mereka bisa masuk ke dalam perangkap korupsi. Perangkap korupsi ini dapat terjadi dikarenakan para pengusaha adalah makhluk rasional yang umumnya menerapkan cost and benefit analysis dalam setiap keputusannya. Setiap bantuan ongkos pilkada kepada para kandidat dapat diibaratkan seperti investasi yang didasarkan kepada perhitungan loss risk dengan potensi revenue yang akan diperoleh di masa depan. Konsekuensinya, mereka akan memprioritaskan pemberian bantuan dana pemilu kepada kandidat yang dianggap memiliki peluang terbesar untuk menang dengan harapan menerima berbagai kemudahan jika calon diusungnya menang.

 

Pernyataan barusan di atas telah didukung secara empirik oleh hasil survei KPK (2019). Temuan survei menyatakan bahwa penyandang dana mengambil peran dalam menyelesaikan masalah pendanaan biaya pilkada. Tetapi, harapan penyandang dana akan adanya balasan di kemudian hari amatlah kentara, berupa kemudahan perizinan bisnis, keleluasaan ikut dalam tender proyek pemerintah daerah, dan keamanan dalam menjalankan usaha.

 

Kemenangan politisi dalam pilkada sejatinya bukanlah kemenangan mereka, melainkan kemenangan para penyokong dana. Hal ini dikarenakan, pemberian bantuan dana ini dapat menyebabkan hilangnya kemerdekaan kepala daerah terpilih untuk membuat keputusan, biasanya terkait perizinan, yang berhubungan dengan kepentingan sang pendukung dana, walaupun melanggar peraturan yang ada.

 

Permasalahan yang dihadapi para pemenang pilkada hampir mirip dengan masalah yang dihadapi oleh calon petahana menjelang pilkada. Hal ini disebabkan karena calon petahana dapat memaksimalkan pemasukan melalui komersialisasi perizinan untuk kepentingan para pengusaha baik secara legal (mengikuti aturan) maupun ilegal (melanggar aturan). Kasus penyuapan perusahaan kelapa sawit milik Hartati Murdaya ke Bupati Buol (2013) merupakan salah satu contoh tidak adanya makan gratis dalam bantuan dana pilkada.

 

Dari sisi penggunaan APBD, bagi calon petahana, untuk mendukung mereka dalam pilkada kerap menjadi pemberitaan. Modus yang sering digunakan adalah gencarnya pemberian bantuan kepada masyarakat, salah satunya lewat bantuan sosial, menjelang pilkada, sehingga seolah-olah pemberian ini diasosiasikan dengan besarnya perhatian calon petahana kepada masyarakat pemilih. Pada akhirnya, diharapkan konstituen memilih calon petahana tersebut. Kemungkinan penggunaan modus ini bisa dicermati dari besaran alokasi dana bantuan sosial dalam APBD yang cenderung meningkat secara drastis menjelang pemilu di berbagai daerah.

 

Pada sisi lain, bagi kepala daerah terpilih, dana APBD dapat digunakan untuk menutupi pengeluaran pilkada dan juga sebagai ajang bancakan bersama pengusaha pendukung. Karena itu, tidak aneh apabila sejumlah proyek di daerah diperuntukkan bagi para penyandang dana, dengan formalitas tender atau tanpa tender sama sekali.

 

Penjelasan di atas ingin memperlihatkan pentingnya memberantas “pasar politik uang” dengan cara mengurangi tingkat korupsi di pemerintahan. Para pembuat kebijakan telah berusaha mengurangi politik uang tersebut dengan memasukkan aspek politik uang dalam UU Pilkada (UU 10/2016). Namun, sayangnya, aturan ini tidak secara komprehensif mengatur bagaimana mencegah politik uang, serta tidak memberikan sanksi yang keras bagi pelanggar, karena hanya dianggap sebagai kejahatan pelanggaran Pemilu (pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar).

 

Dalam konteks itulah, mungkin sudah saatnya ada kepentingan bersama untuk memasukkan politik uang dalam ranah tindak pidana korupsi.

 

Periksa Juga

Satgas Yonif 512/QY Beri Perhatian Kesehatan Anak Sekolah di Kampung Umuaf.

Bagikan      NEWSSULSEL.id, Keerom – Kepedulian terhadap kesehatan generasi muda kembali ditunjukkan oleh Satgas Yonif 512/QY. Saat …

Tinggalkan Balasan